Sejarah Tarjih II

ORGANISASI DAN SEJARAH MAJLIS TARJIH*


A. MUHAMMADIYAH SELAYANG PANDANG
Pada permulaan abad XX umat Islam Indonesia menyaksikan munculnya gerakan pembaharuan pemahaman dan pemikiran Islam yang pada esensinya dapat dipandang sebagai salah-satu mata rantai dari serangkaian gerakan pembaharuan Islam yang telah dimulai sejak dari Ibnu Taimiyah di Siria, diteruskan Muhammad Ibnu Abdul Wahab di Saudi Arabia dan kemudian Jamaluddin al Afghani bersama muridnya Muhammad Abduh di Mesir. Munculnya gerakan pembaharuan pemahaman agama itu merupakan sebuah fenomena yang menandai proses Islamisasi yang terus berlangsung. Dengan proses Islamisasi yang terus berlangsung -meminjam konsep Nakamura- dimaksudkan suatu proses dimana sejumlah besar orang Islam memandang keadaan agama yang ada, termasuk diri mereka sendiri, sebagai belum memuaskan. Karenanya sebagai langkah perbaikan diusahakan untuk memahami kembali Islam, dan selanjutnya berbuat sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai standard Islam yang benar.1
Peningkatan agama seperti itu tidak hanya merupakan pikiran-pikiran abstrak tetapi diungkapkan secara nyata dan dalam bentuk organisasi-organisasi yang bekerja secara terprogram. Salah satu organisasi itu di Indonesia adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H bertepatan dengan 18 Nopember 1912 M.
KH. Ahmad Dahlan yang semasa kecilnya bernama Muhammad Darwis dilahirkan di Yogyakarta tahun 1968 atau 1969 dari ayah KH. Abu Bakar, Imam dan Khatib Masjid Besar Kauman, dan Ibu yang bernama Siti Aminah binti KH. Ibrahim penghulu besar di Yogyakarta.2 KH. Ahmad Dahlan kemudian mewarisi pekerjaan ayahnya menjadi khatib masjid besar di Kauman. Disinilah ia melihat praktek-praktek agama yang tidak memuaskan di kalangan abdi dalem Kraton, sehingga membangkitkan sikap kristisnya untuk memperbaiki keadaan.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan oleh Dahlan pada mulanya bersifat lokal, tujuannya terbatas pada penyebaran agama di kalangan penduduk Yogyakarta. Pasal dua Anggaran Dasarnya yang asli berbunyi (dengan ejaan baru):
Maka perhimpunan itu maksudnya :
a. Menyebarkan pengajaran Agama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residentie Yogyakarta.
b. Memajukan hal Agama Islam kepada anggota-anggotanya.3
Berkat kepribadian dan kemampuan Dahlan memimpin organisasinya, maka dalam waktu singkat organisasi itu mengalami perkembangan pesat sehingga tidak lagi dibatasi pada residensi Yogyakarta, melainkan meluas ke seluruh Jawa dan menjelang tahun 1930 telah masuk ke pulau-pulau di luar Jawa.
Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid) pemahaman agama. Adapun yang dimaksudkan dengan pembaharuan oleh Muhammadiyah ialah yang seperti yang dikemukakan M. Djindar Tamimy: Maksud dari kata-kata “tajdid” (bahasa Arab) yang artinya “pembaharuan” adalah mengenai dua segi, ialah dipandang dari pada/menurut sasarannya :
Pertama : berarti pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada keasliannya/kemurniannya, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap/tidak berubah-ubah.
Kedua : berarti pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai masalah seperti: metode, sistem, teknik, strategi, taktik perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu, yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi/ruang dan waktu.
Tajdid dalam kedua artinya, itu sesungguhnya merupakan watak daripada ajaran Islam itu sendiri dalam perjuangannya.4
Dapat disimpulkan bahwa pembaharuan itu tidaklah selamanya berarti memodernkan, akan tetapi juga memurnikan, membersihkan yang bukan ajaran.
Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bertujuan menegakkan agama Islam ditengah-tengah masyarakat, sehingga terwujud masyarakat Islam sebenar-benarnya.
Islam sebagai agama terakhir, tidaklah memisahkan masalah rohani dan persoalan dunia, tetapi mencakup kedua segi ini. Sehingga Islam yang memancar ke dalam berbagai aspek kehidupan tetaplah merupakan satu kesatuan suatu keutuhan. Pembaharuan Islam sebagai satu kesatuan inilah yang ditampilkan Muhammadiyah itu sendiri. Sehingga dalam perkembangan sekarang ini Muhammadiyah menampakkan diri sebagai pengembangan dari pemikiran perluasan gerakan-gerakan yang dilahirkan oleh KH. Ahmad Dahlan sebagai karya amal shaleh.5
Sekarang ini usaha pembaharuan Muhammadiyah secara ringkas dapat dibagi ke dalam tiga bidang garapan, yaitu : bidang keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan.
1. Bidang keagamaan
Pembaharuan dalam bidang keagamaan ialah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu, lingkungan situasi dan kondisi, mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas tampak dan tertutup oleh kebiasaan dan pemikiran tambahan lain.6
Di atas telah disebutkan bahwa yang dimaksud pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah memurnikan kembali dan mengembalikan kepada keasliannya. Oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik menyangkut aqidah (keimanan) ataupun ritual (ibadah) haruslah sesuai dengan aslinya, yaitu sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam Al-Quran dan dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW, lewat sunah-sunahnya.
Dalam masalah aqidah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khufarat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip toleransi menurut ajaran Islam, sedang dalam ibadah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah tersebut sebagaimana yang dituntunkan Rasulullah SAW tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.7
Dengan kembali kepada ajaran dasar ini yang populernya disebut pada Al-Qur’an dan Hadits, Muhammadiyah berusaha menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam agama. Memang di Indonesia keadaan ini terasa sekali, bahwa keadaan keagamaan yang nampak adalah serapan dari berbagai unsur kebudayaan yang ada.
Di antara praktek-praktek dan kebiasaan yang bukan berasal dari agama Islam antara lain : pemujaan arwah nenek moyang, benda-benda keramat, berbagai macam upacara dan selamatan, seperti pada waktu-waktu tertentu pada waktu hamil, pada waktu puput pusar, khitanan, pernikahan, dan kematian. Upacara dan do’a yang diadakan pada hari ke-3, ke-5, ke-40, ke-100, ke-1000 setelah meninggal. Peristiwa penting yang berssfat sosial yang berhubungan dengan kepercayaan seperti kenduri/ slametan pada bulan Sya’ban dan Ruwah. Berziarah ke makam orang-orang suci dan minta dido’akan. Begitu pula orang sering kali meminta nasehat dan bantuannya kepada petugas agama di desa (seperti modin, rois, kaum) dalam hal-hal yang berhubungan dengan takhayul, misal untuk menolak pengaruh penyakit, yang untuk itu biasanya mereka diberi/dibacakan do’a-do’a dalam bahasa Arab, yang di antara do’a tersebut tidak jarang bagian-bagian yang berbau Agama Hindu atau animisme dari zaman kuno, dan sebagainya.8
Terhadap tradisi dan kepercayaan di atas banyak orang Islam yang menganggap bahwa hal tersebut termasuk amalan-amalan keagamaan, atau setidak-tidaknya hal tersebut tidak bertentangan.
Terhadap tradisi, adat kebiasaan dan berbagai macam kepercayaan di atas banyak kaum muslimin yang melakukannya tanpa reserve, bahkan mereka menganggap bahwa hal di atas termasuk keharusan menurut agama.
Untuk itu Muhammadiyah berusaha meluruskan kembali dengan memberantas segala bentuk bid’ah dan khurafat sepeti bentuk di atas.
Usaha Muhammadiyah untuk memurnikan keyakinan umat Islam Indonesia, ialah Muhammadiyah telah mengenalkan penelaahan kembali dan pengubahan drastis, jika diperlukan, menuju penafsiran yang benar terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits. Usaha pemurnian tersebut antara lain dapat disebut :
1. Penentuan arah kiblat yang tepat dalam bersembahyang, sebagai kebalikan dari kebiasaan sebelumnya, yang menghadap tepat ke arah Barat.
2. Penggunaan perhitungan astronomi dalam menentukan permulaan dan akhir bulan puasa (hisab), sebagai kebalikan dari pengamatan perjalanan bulan oleh petugas agama.
3. Menyelenggarakan sembahyang bersama di lapangan terbuka pada hari raya Islam, Idul Fitri dan Idul Adha, sebagai ganti dari sembahyang serupa dalam jumlah jama’ah yang lebih kecil, yang diselengarakan di Masjid.
4. Pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan korban pada hari raya tersebut di atas, oleh panitia khusus, mewakili masyarakat Islam setempat, yang dapat dibandingkan sebelumnya dengan memberikan hak istimewa dalam persoalan ini pada pegawai atau petugas agama (penghulu, naib, kaum. modin, dan sebagainya).
5. Penyampaian khutbah dalam bahasa daerah, sebagai ganti dari penyampaian khutbah dalam bahasa Arab.
6. Penyederhanaan upacara dan ibadah dalam upacara kelahiran, khitanan, perkawinan dan pemakaman, dengan menghilangkan hal-hal yang bersifat politheistis darinya.
7. Penyerderhanaan makam, yang semula dihiasi secara berlebihan.
8. Menghilangkan kebiasaan berziarah ke makam orang-orang suci (wali).
9. Membersihkan anggapan adanya berkah yang bersifat ghaib, yang dimiliki oleh para kyai/ulama tertentu, dan pengaruh ekstrim dari pemujaan terhadap mereka.
10. Penggunaan kerudung untuk wanita, dan pemisahan laki-laki dengan perempuan dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan.9
Dalam rangka usaha tersebut, tidak sedikit rintangan yang dialami. Beberapa tafsir Muhammadiyah tentang Al-Qur’an dan Al-Hadits menimbulkan debat theologis di antara ulama.Tetapi kemudian, beberapa hal yang dipelopori oleh Muhammadiyah menjadi umum di kalangan umat Islam di Indonesia.10
Untuk membahas, apakah adat istiadat/tradisi serta kepercayaan berlaku di masyarakat itu sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits atau tidak, dalam Muhammadiyah dibicarakan oleh suatu lembaga yang bernama “Lajnah Tarjih”. Tarjih ini adalah merupakan realisasi dari prinsip, bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.
Majlis Tarjih didirikan atas dasar keputusan kongres Muhammadiyah ke- XVI pada tahun 1927, atas usul dari K.H. Mas Mansyur.11
Fungsi dari majlis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu. Masalah itu tidak perlu semata-mata terletak pada bidang agama dalam arti sempit, tetapi mungkin juga terletak pada masalah yang dalam arti biasa tidak terletak dalam bidang agama, tetapi pendapat apapun juga haruslah dengan sendirinya didasarkan atas syari’ah12, yaitu Qur’an dan Hadits, yang dalam proses pengambilan hukumnya didasarkan pada ilmu ushul fiqh13. Majlis ini berusaha untuk mengembalikan suatu persoalan kepada sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, baik masalah itu semula sudah ada hukummnya dan berjalan di masyarakat tetapi masih dipertikaikan di kalangan umat Islam, ataupun yang merupakan masalah-masalah baru, yang sejak semula memang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah keluarga berencana, bayi tabung, bank dan lain-lain.

2. Bidang Pendidikan
Dalam kegiatan pendidikan dan kesejahteraan sosial, Muhammadiyah mempelopori dan menyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata. Bagi Muhammadiyah, yang berusaha keras menyebarluaskan Islam lebih luas dan lebih dalam, pendidikan mempunyai arti penting, karena melalui inilah pemahaman tentang Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi ke generasi.14
Pembaharuan pendidikan ini meliputi dua segi, yaitu segi cita-cita dan segi teknik pengajaran. Dari segi cita-cita, yang dimaksud K.H. Ahmad Dahlan ialah ingin membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Adapun teknik, adalah lebih banyak berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan pengajaran.15
Gagasan pendidikan Muhammadiyah adalah untuk mendidik sejumlah banyak orang awam dan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Dalam usaha merealisasi gagasan tersebut, Muhammadiyah sejak masa kepemimpinan Ahmad Dahlan, telah berusaha keras untuk mengawinkan antara dua sistim pendidikan, pesantren (pendidikan agama pedesaan di bawah tuntunan kyai/ulama) dan sekolah model barat, dengan menghilangkan kelemahan dari keduanya. Menurut Muhammadiyah, pendidikan pesantren tradisional membutuhkan waktu terlalu banyak bagi santri untuk menyelesaikannya, juga kurang adanya sistim kelas atau penjenjangan. Pesantren biasanya hanya terbatas pada sejumlah kecil mata pelajaran tertentu, sehingga santri harus memasuki dan tinggal di beberapa pesantren agar sempurna ilmunya. Pesantren tradisional tidak cukup membekali santrinya dalam memecahkan masalah-masalah keduniawian, karena lembaga-lembaga tersebut tidak mengajarkan pelajaran-pelajaran sekuler. Di pihak lain, pendidikan model Barat hanya mengajarkan ketrampilan praktis, pengetahuan dan ilmu umum, tetapi tidak mengajarkan ketrampilan akhlak, budi pekerti, dengan bersandar kepada ajaran Islam. Muhammadiyah merasa perlu menggabungkan keduanya : pendidikan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat.16 Atau dengan kata lain, bahwa dengan sistim pendidikannya itu, Muhammadiyah ingin membentuk ulama intelek dan atau intelek yang ulama.
Dengan mengambil unsur-unsurnya yang baik dari sistim pendidikan Barat dan sistim pendidikan tradisional, Muhammadiyah berhasil membangun sistim pendidikan sendiri, seperti sekolah model Barat, tetapi dimasuki pelajaran agama di dalamnya, sekolah dengan menyertakan pelajaran sekuler, bermacam-macam sekolah kejuruan dan lain-lain.
Sedang dalam cara penyelenggaraannya, proses belajar mengajar itu tidak lagi dilaksanakan di masjid atau langgar, tetapi di gedung khusus, yang di lengkapi dengan meja, kursi dan papan tulis, tidak lagi duduk di lantai.
Selain pembaharuan dalam lembaga pendidikan formal, Muhammadiyah pun telah memperbaharui bentuk pendidikan tradisional non formal, yaitu pengajian. Semula pengajian di lakukan di mana orang tua atau guru privat mengajar anak-anak kecil membaca Al-Qur’an dan beribadah. Oleh Muhammadiyah diperluas dan pengajian disistematiskan ke dalam bentuk pendidikan agama non formal, di mana pesertanya lebih banyak juga isi pengajian diserahkan pada masalah-masalah kehidupan sehari-hari umat Islam.
Begitu pula Muhammadiyah dalam usaha pembaharuan ini telah berhasil mewujudkan bidang bimbingan dan penyuluhan agama dalam masalah-masalah yang diperlukan dan mungkin bersifat pribadi, seperti Muhammadiyah telah memelopori mendirikan Badan Penyuluhan Perkawinan di kota-kota besar. Dengan menyelenggarakan pengajian dan nasihat yang bersifat pribadi tersebut, dapat ditunjukkan bahwa Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia.
3. Bidang Kemasyarakatan
Di bidang sosial dan kemasyarakatan, maka usaha yang dirintis oleh Muhammadiyah adalah didirikannya rumah sakit poliklinik, rumah yatim piatu, yang dikelola melalui lembaga-lembaga dan bukan secara individual sebagaimana dilakukan orang pada umumnya di dalam memelihara anak yatim piatu. Badan atau lembaga pendidikan sosial di dalam Muhammadiyah juga ikut menangani masalah-masalah keagamaan yang ada kaitannya dengan bidang sosial, seperti prosedur penerimaan dan pembagian zakat ditangani sepenuhnya oleh P.K.U., yang sekaligus berwenang sebagai badan ‘amil.18
Usaha pemaharuan dalam bidang sosial kemasyarakatan ditandai dengan didirikannya Pertolongan Kesengsaraan Oemoem (PKO) pada tahun 1923. Ide di balik pembangunan dalam bidang ini karena banyak di antara orang Islam yang mengalami kesengsaraan, dan hal ini merupakan kesempatan bagi kaum muslimin untuk saling tolong-menolong.
Perhatian pada kesengsaraan umum dan kewajiban menolong sesama muslim, tidak hanya sekedar karena rasa cinta kasih pada sesama, tetapi juga ada tuntunan agama yang jelas untuk beramar ma’ruf. Sebagai perwujudan sosial dari semangat beragama. Hal ini merupakan gerakan sosial dengan ilham keagamaan.19 Contohnya ialah pengamalan firman Tuhan dalam Surat Al-Ma’un (terjemahannya) :
“Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tiada menganjurkan menyantuni orang miskin. Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu lalai dari shalatnya, orang-orang yang riya’ dan tiada mau menolong dengan barang-barang yang berguna.”
Ajaran ini direalisasikan oleh Muhammadiyah melalui pendirian rumah yatim, klinik, rumah sakit dan juga melalui pembaharuan caa mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.
Dapatlah disimpulkan, bahwa pembaharuan sosial kemasyarakatan yang dilakukan Muhammadiyah, merupakan salah satu wujud dari ketaatan beragama, dalam dimensi sosialnya, atau dimaksudkan untuk mencapai tujuan keagamaan.

B. ORGANISASI MAJLIS TARJIH
1. Lajnah Tarjih dan Majlis Tarjih
Lajnah Tarjih dan Majlis Tarjih adalah dua istilah yang selalu dihubungkan kepada lembaga ketarjihan dalam persyarikatan Muhammadiyah, terutama sejak diterbitkanya surat keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 5/PP/1971, tentang Qa’idah Lajnah Tarjih Muhammadiyah. Akan tetapi istilah yang kedua, yaitu Majlis Tarjih lebih populer dan lebih banyak dikenal masyarakat umum dibandingkan dengan istilah Lajnah Tarjih. Atau barangkali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa orang umum hanya mengenal istilah Majlis Tarjih saja sebagai sebutan yang dihubungkan dengan Lembaga Ketarjihan Muhammadiyah. Sebab mengapa istilah Majlis Tarjih lebih populer, mungkin dapat dikembalikan kepada kenyataan, bahwa istilah tersebut merupakan istilah historis yang digunakan untuk menyebut lembaga Ketarjihan Muhammadiyah, pada waktu mulai pertama lahirnya lembaga tersebut, dan pada waktu itu tidak ada pembedan antara Majlis dengan Lajnah tarjih. Pembedaan itu timbul pada masa yang jauh terkemudian.
Sebutan Lajnah Tarjih dengan Majlis Tarjih sebagaimana dimaksud oleh Qo’idah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1971 yang berlaku sekarang, walaupun dihubungkan kepada lembaga yang sama, namun digunakan untuk menyebut aspek yang sangat berbeda seperti sebentar lagi akan dijelaskan. Akan tetapi perbedaan pengertian kedua istilah itu tidak selalu mudah dipahami. Kalangan Muhammadiyah dan bahkan orang-orang Majlis Tarjih sendiri menggunakan kedua istilah tersebut di atas, tanpa membedakan pengertian dan ada pula yang mencampur-adukkannya. Beberapa tokoh Majlis Tarjih dalam tulisan-tulisan mereka, kadang–kadang menggandengkan kedua istilah itu secara bersama-sama, dengan menggunakan garis miring. Misalnya, Sekretaris Majlis Tarjih menulis : “III. PERBANDINGAN LAJNAH TARJIH/ MAJLIS TARJIH DENGAN MAJLIS-MAJLIS YANG LAIN”20. Begitu pula ketua Majlis Tarjih pernah mengatakan dalam salah satu pidatonya :
Perlu kami sampikan di sini, bahwa Majlis Tarjih/Lajnah Tajih, dalam menyelidiki dan membahas masalah Agama, dalam rangka untuk mendapatkan sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dengan tidak meninggalkan pertimbangan akal yang sehat. Dalam hal ini Majlis Tarjih/Lajnah Tarjih tetap berpendirian, bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.21
Kedua kutipan di atas jelas-jelas mengidentikkan Lajnah Tarjih dengan Majlis Tarjih.
Sementara itu beberapa responden yang diwawancarai dalam rangka penelitian ini, memberikan keterangan yang berbeda-beda tentang pengertian khususnya Lajnah Tarjih. Salah seorang menyatakan, bahwa Lajnah Tarjih adalah Majlis Tarjih untuk tingkat daerah. Sedang Majlis Tarjih untuk tingkat pusat. Ini sebenarnya memang betul, akan tetapi pengertian itu dipakai dalam Qaidah tarjih tahun 1961 yang sudah tidak berlaku lagi sekarang. Adapun dalam Qaidah terbaru yang sekarang ini berlaku, yaitu Qaidah terbaru yang sekarang ini berlaku, yaitu Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1971, pengertian akan dijelaskan. Di samping itu ada pula responden yang mengatakan bahwa Lajnah Tarjih adalah sidangnya para ulama22.
Selanjutnya dalam penerbitan-penerbitan Muhammadiyah juga ditemui kenyataan tidak dibedakannya pengertian Majlis dengan Lajnah Tarjih. Misalnya dalam Suara Muhammadiyah di temukan “Demikian setelah itu dan hingga kini sebutan Mu’tamar bagi musyawarah besar Majlis Tarjih telah dan tetap dipergunakan”23. Kutipan ini menyatakan, bahwa Mu’tamar adalah musyawarah besar Majlis Tarjih. Padahal sebetulnya kalau kita kembali kepada Qaidah yang sekarang berlaku, maka akan kita temukan bahwa Mu’tamar itu adalah musyawarah besar Lajnah Tarjih dan bukan Majlis Tarjih 24. Jadi kutipan di atas menggunakan istilah Majlis Tarjih untuk menunjuk Lajnah Tarjih. Hal yang sama kita temukan dalam buku Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah. Dalam “Muqaddimah” untuk cetakan ketiga, Pimpinan Pusat Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih menulis : “Dengan mengucap syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala kami ketengahkan kepada para pembaca cetakan ketiga dari kitab Himpunan Putusan Majlis Tarjih untuk memenuhi ......”25. Di sini putusan Mu’tamar dinamakan putusan Majlis Tarjih. Penamaan ini bila dikembalikan kepada Qaidah 1971 barangkali tidak tepat, sebab keputusan itu ditelorkan oleh Mu’tamar Lajnah Tarjih, yang dihadiri oleh anggota-anggota Lajnah Tarjih di samping anggota-anggota Majlis Tarjih sendiri. Dalam Qaidah sendiri tidak ditemukan istilah “Putusan Majlis Tarjih”.
Ilustrasi di atas memperlihatkan, bahwa :
a. Sebutan Majlis Tarjih lebih populer.
b. Karena begitu populernya, orang hampir-hampir tak mengenal istilah Lajnah Tarjih, dan kadang-kadang untuk menyebut lembaga itu, digunakan istilah Majlis Tarjih.
Demikian sekedar gambaran, bahwa seringkali terjadi istilah Majlis Tarjih ditempatkan pada Lajnah Tarjih, dan istilah Lajnah Tarjih hampir-hampir tidak muncul ke permukaan. Supaya tidak mengacaukan dan supaya bisa menempatkan pemakaian kedua istilah di atas dalam proporsinya, maka perlu diketahui pengertiannya.
Untuk mengetahui pengertian kedua istilah ini dan sekaligus mengetahui perbedaannya, maka harus melihat kepada aturan hukum yang mengaturnya, dalam hal ini Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah No 5/ PP/ 1971, tentang : Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah.
Pasal 1 Qaidah itu memyebutkan : Lajnah Tarjih adalah lembaga persyarikatan dalam bidang agama.
Lebih lanjut pasal 3 ayat (1) menyebutkan : Lajnah Tarjih dibentuk di tingkat Pusat, Wilayah dan Daerah, oleh Pimpinan Persyarikatan masing-masing tingkat, dengan sebutan :
a. Lajnah Tarjih Pusat
b. Lajnah Tarjih Wilayah
c. Lajnah Tarjih Daerah
Dari dua pasal di atas dapatlah diketahui, bahwa Lajnah Tarjih itu ialah lembaga persyarikatan dalam bidang agama, dan lembaga ini ada baiknya di tingkat Pusat, Wilayah maupun Daerah.
Adapun Majlis Tarjih yaitu seperti apa yang disebutkan antara lain dalam pasal 5 ayat (1) huruf a, yaitu :
1. Pimpinan Lajnah Tarjih.
a. Majlis Tarjih Pusat memimpin Lajnah Tarjih pusat, terdiri sekurang-kurangnya 9 (sembilan) orang.
Kemudian ayat (2) berbunyi : “Apalah dipandang perlu, anggota persyarikatan dapat diangkat sebagai anggota Majlis Tarjih”.
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan, bahwa kalau Lajnah Tarjih itu lembaganya, sedang Majlis Tarjih adalah pengurusnya, yaitu badan pengurus yang bertugas memimpin lembaga yang bernama Lajnah Tarjih di tingkatnya masing-masing.
2. Dasar Hukum yang mengatur Lajnah Tarjih
Lajnah Tarjih sebagai suatu bagian dari persyarikatan yang bertugas mengurusi keagamaan, diatur dalam suatu Qaidah yang disebut Qaidah Lajnah Tarjih yang disebut Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah. Qaidah ini dibuat oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan ditelorkan dalam bentuk SK (Surat Keputusan).
Adapun sekarang ini Qaidah yang terbaru adalah Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun1971 yang ditetapkan dengan SK PP Muhammadiyah No. : 5/ PP/ 1971 tanggal 9 Rabi’ul Awwal 1391 H / 4 Mei 1971. Qaidah ini merupakan pengganti Qaidah sebelumnya yaitu Qaidah tahun 1961.26
Aturan lain yang mengatur Lajnah Tarjih ini ialah SK. PP Muhammadiyah No. : 5/PP/1974 tanggal 3 Rajab 1394 / 22 Juli 1974, tentang Majlis dan Bagian serta pokok tugas, hak dan wewenang serta kewajibannya 27.
Sebelum diganti dengan Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1971, dalam sejarah lembaga ketarjihan Muhammadiyah sebelumnya telah berlaku beberapa Qaidah Tarjih, antara lain Qaidah Tarjih tahun 1952 dan Qaidah Tarjih tahun 1961.28
3. Tugas dan Wewenang Lajnah Tarjih dan Majlis Tarjih.
Dari mulai diadakan/dibentuk sampai sekarang ini tugas Lajnah Tarjih telah mengalami perkembangan, perubahan dan peningkatan. Pada mulanya lembaga ini -sebagaimana dikemukakan dalam alasan pembentukannya -bertugas khusus untuk membahas masalah-masalah agama. Dan dalam penerangan tentang hal tarjih oleh PP. Muhammadiyah pada tahun 1936 terdapat kata-kata : “kita mendirikan Majlis Tarjih untuk menimbang dan memilih dari segala masalah yang diperselisihkan yang masuk dalam kalangan Muhammadiyah manakah yang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al-Qur’an dan Hadits”.29
Adapun tugasnya sekarang ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah, Lajnah Tarjih mempunyai enam tugas, yaitu:
1. Menyelidiki dan memahami Ilmu Agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.
2. Menyusun tuntunan Aqidah, Akhlak, Ibadah dan Muamalah duniawiyat.
3. Memberikan fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri memandang perlu.
4. Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.
5. Mempertinggi mutu ‘ulama.
6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan Persyarikatan.
Jadi dengan melihat apa yang menjadi tugas pokok Lajnah Tarjih di atas jelaslah apa yang menjadi wewenangnya, yaitu masalah-masalah keagamaan.
Adapun tugas dari Majlis Tarjih ialah sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 SK. PP Muhammadiyah No.: 5/PP/1974 adalah sebagai berikut:
a. Meneliti Hukum Islam untuk mendapatkan kemurniannya.
b. Memberi bahan dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna menentukan kebijaksanan dan menjalankan pimpinan serta memimpin pelaksanaan ajaran dan hukum Islam kepada anggota.
c. Mendampingi Pimpinan Persyarikatan dalam memimpin anggota dalam melaksanakan ajaran dan hukum islam.
Secara ringkas dapatlah dikatakan bahwa tugas Majlis Tarjih ialah: melaksanakan tugas Lajnah Tarjih sehari-hari dalam membantu Pimpinan Persyarikatan.
Adapun tugas yang lain dari Majlis Tarjih ialah:
- Ketua Majlis Tarjih atau anggota Majlis Tarjih yang diberi kuasa olehnya wajib menghadiri rapat-rapat/sidang-sidang Pimpinan Persyarikatan tingkat yang bersangkutan. (Pasal 5 ayat 6 Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah).
- Setiap akhir tahun harus membuat laporan tentang kegiatannya dan hasil kerjanya yang disampaikan kepada:
a. Pimpinan Persyarikatan tingkat yang bersangkutan.
b. Anggota Majlis Tarjih (Pasal 5 ayat 7 Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah jo pasal 11 SK PP. Muhammadiyah No.: 5/PP/74).
Dalam melaksanakan tugasnya itu, Majlis Tarjih sekarang ini dilengkapi dengan seksi-seksi, yaitu: Seksi Umum, Seksi Hukum, Seksi Falak dan Seksi Perpustakaan.30
Begitu pula Majlis Tarjih dalam mengemban amanat, selaku pengurus Lajnah Tarjih yang salah satu tugasnya dari Lajnah Tarjih ini ialah “mempertinggi mutu ulama”, telah berusaha dengan cara membentuk kader-kader tarjih. Hal ini pernah diadakan di Yogyakarta dengan mengadakan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1968, sebagai pelaksanaan dari amanat sidang tanwir Muhammadiyah yang memerintahkan supaya membuat suatu lembaga untuk membina lembaga ulama tarjih. Dalam keputusan itu ditetapkan bahwa tiap-tiap wilayah harus mengirim satu orang utusan dan biayanya ditanggung oleh wilayah bersangkutan. Mereka digodog selama tiga tahun, salah seorang pendidiknya ialah Bapak Ummar Affandi, Yogyakarta. Akan tetapi yang bisa mengikuti sampai selesai hanya 5 orang saja, antara lain Sdr. Suprapto, Direktur Mu’alimin Yogyakarta sekarang.30
4. Keanggotaan Lajnah Tarjih.
Tentang siapa saja yang berhak menjadi anggota Lajnah Tarjih, ini diatur oleh pasal 4 Qa’dah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1971. Ayat (1) dari pasal ini menyebutkan :
“Anggota Lajnah Tarjih ialah Ulama (laki-laki/perempuan) Anggota Persyarikatan yang mempunyai kemampuan bertarjih”.
Menurut salah seorang responden yang diwawancarai menyatakan bahwa yang dimaksud “mempunyai kemampuan bertarjih” diisyaratkan harus bisa membaca kitab dan memahaminya dan paling tidak (waktu dahulu) dapat membaca Kitab Subulus Salam.32
Sedang prosedur pengangkatannya diatur dalam ayat (2) “Anggota Lajnah Tarjih diangkat dan ditetapkan oleh Pimpinan Persyarikatan yang bersangkutan :
a. Anggota Lajnah Tarjih Pusat diusulkan oleh Pimpinan Muhammadiyah wilayah, masing-masing wilayah mengusulkan sekurang-kurangnya 2 (dua) dan sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh) orang dari antara calon hasil Musyawarah Lajnah Tarjih Wilayah.
b. Anggota Lajnah Tarjih Wilayah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang diusulkan oleh Pimpinan Muhammadiyah Daerah dari antara calon-calon hasil Musyawarah Lajnah Tarjih Daerah.
c. Anggota Lajnah Tarjih Daerah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang diusulkan oleh Pimpinan Muhammadiyah Cabang dari ulama-ulama di Cabang yang bersangkutan.
Namun demikian dari anggota-anggota yang telah ditentukan dalam ayat (2) di atas jika masih dirasa kurang atau apabila diperlukan, maka Pimpinan Persyarikatan masing-masing tingkat berhak untuk menambah anggota Tarjih. Ketentuan ini diatur dalam ayat (4).
Kapan anggota Lajnah Tarjih yang telah diangkat itu berhenti? Ini diatur dalam ayat (5), yaitu :
a. Meninggal dunia
b. Permintaan sendiri
c. Keputusan Pimpinan Persyarikatan.

5. Tingkatan-tingkatan Lajnah Tarjih.
Menurut pasal 3 ayat (1) Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1971, Lajnah Tarjih dibentuk di tiga tingkat, yaitu di tingkat Pusat disebut Lajnah Tarjih Pusat, di tingkat Wilayah disebut Lajnah Tarjih Wilayah dan ditingkat Daerah disebut Lajnah Tarjih Daerah.
Untuk tingkat Cabang dan Ranting tidak dibentuk Lajnah Tarjih, dan untuk ke-Tarjihan di tingkat Cabang dan Ranting ini diurus oleh Lajnah Tarjih Daerah (pasal 3 ayat 2).
Seperti telah disebutkan bahwa Lajnah Tarjih itu dipimpin oleh Majlis Tarjih maka dengan demikian (sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) Qaidah Lajnah Tarjih), ada :
- Majlis Tarjih Pusat memimpin Lajnah Tarjih Pusat yang terdiri dari sekurang-kurangnya 9 orang.
- Majlis Tarjih Wilayah memimpin Lajnah Tarjih Wilayah, terdiri sekurang-kurangnya 7 orang, dan
- Majlis Tarjih Daerah yang memimpin Lajnah Tarjih Daerah, terdiri dari sekurang-kurangnya 5 orang.
Majlis tarjih di tiap-tiap tingkat ini masing-masing diangkat dan ditetapkan oleh Pimpinan Persyarikatan tingkat yang bersangkutan. Ayat (2) pasal ini menyebutkan : dipandang perlu, anggota persyarikatan dapat diangkat sebagai Anggota Majlis Tarjih.
Lamanya masa kepengurusan Majlis Tarjih ini adalah selama masa kepengurusan Persyarikatan tingkat yang bersangkutan.
Lajnah Tarjih di masing-masing tingkat sama-sama berhak mengadakan musyawarah. Untuk ini pasal 6 dari Qaidah Lajnah Tarjih, mengatur lebih lanjut sebagai berikut :
a. Mu’tamar : Yaitu Permusyawaratan Lajnah Tarjih di tingkat Pusat, yang diselenggarakan paling tidak dalam waktu tiga tahun sekali.
b. Musyawarah Wilayah : Yaitu Permusyawaratan Lajnah Tarjih tingkat Wilayah, diselenggarakan sekurang-kurangnya setahun sekali; dan
c. Musyawarah Daerah : Yaitu Permusyawaratan Lajnah Tarjih di tingkat Daerah, yang diselenggarakan sekurang-kurangnya setahun dua kali.
Jadi apabila Lajnah Tarjih Pusat mengadakan permusyawaratan ini dinamakan “Muktamar”, sedang apabila Lajnah Tarjih tingkat Wilayah dan Daerah mengadakan Permusyawaratan, masing-masing disebut “Musyawarah Wilayah” dan “Musyawarah Daerah”. Untuk mengadakan permusyawaratan itu haruslah terlebih dahulu mendapat persetujuan Pimpinan Persyarikatan tingkat yang bersangkutan.
Adapun yang berhak menghadiri Permusyawaratan ini ialah :
- Para Anggota Lajnah Tarjih yang bersangkutan
- Anggota Majlis Tarjih
- Mereka yang dipandang perlu oleh Majlis Tarjih dengan persetujuan Pimpinan Persyarikatan yang bersangkutan.
Musyawarah Lajnah Tarjih dipimpin oleh Majlis Tarjih yang bersangkutan.
Kapan keputusan musyawarah berlaku? Ini disebutkan dalam pasal 7, yaitu : Keputusan Musyawarah baru berlaku setelah ditanfidzkan oleh Pimpinan Persyarikatan tingkat yang bersangkutan (ayat 2).
Apabila Lajnah Tarjih di tingkatan yang lebih rendah dalam Keputusan Permusyawaratannya berlainan dengan Keputusan Musyawarah yang lebih tinggi, ini harus dilaporkan kepada Majlis Tarjih Pusat (ayat 4).
Sedang ayat 5 dari pasal 7 ini mengatur pembatalan Keputusan Musyawarah Lajnah Tarjih, dimana disebutkan sebagai berikut : Keputusan Musyawarah Lajnah Tarjih hanya dapat dirubah atau dibatalkan oleh Keputusan Musyawarah Lajnah Tarjih yang setingkat atau tingkat diatasnya.
6. Daya ikat hasil Musyawarah Lajnah Tarjih.
Di atas telah disebutkan bahwa Keputusan Musyawarah Lajnah Tarjih baru berlaku setelah ditanfidzkan oleh Pimpinan Persyarikatan. Namun demikian meskipun keputusan tersebut sudah ditanfidzkan hanya mempunyai daya ikat kepada Persyarikatan saja, sedang kepada individu-individunya tidaklah mengikat. Hal ini dikarenakan agama itu adalah keyakinan seseorang kepada Tuhannya. Jadi apa yang diyakini itulah yang dilaksanakan.
Untuk lebih jelasnya bisa dicontohkan sebagai berikut :
Seandainya Pengurus Muhammadiyah di suatu desa mengadakan sholat Idul Fitri atau Idul Adha, maka ini harus diadakan di lapangan, sebab Tarjih menetapkan sholat Id itu di lapangan. Tetapi apabila ada salah seorang anggota persyarikatan mau melakukan sholat Id tersebut, maka dia bebas apa mau di lapangan atau di Masjid, artinya dia tidak terikat oleh putusan Lajnah Tarjih.33
Demikian pula meskipun Lajnah Tarjih itu adalah lembaga Persyarikatan yang tertinggi dalam bidang Agama, tetapi baik fatwa-fatwanya maupun keputusannya (sebenarnya Keputusan Lajnah Tarjihpun adalah fatwa kepada Pengurus Persyarikatan) tidaklah mengikat kepada Pengurus Persyarikatan. Artinya pengurus tidaklah harus selalu mentanfidzkan apa yang menjadi keputusan Lajnah Tarjih, tetapi bisa saja pimpinan peryarikatan atas tetapi bisa saja Pimpinan Persyarikatan atas kebijaksanaannya menangguhkan putusan Lajnah Tarjih atau mengembalikan kepada Lajnah Tarjih untuk ditarjihkan lagi.
Misalnya keputusan Mu’tamar Lajnah Tarjih di Malang (tahun 1983) tentang: “Hari Raya Islam itu adalah Idul Fitri dan Idul Adha”, tidak ditanfidzkan oleh PP. Muhammadiyah, sebab sudah berlaku. Dan akan merugikan perjuangan umat Islam dalam menyiarkan agama dan kebijaksanaan da’wah kalau hari-hari besar lainnya dikurangi. Misalnya lagi : Keputusan Mu’tamar Lajnah Tarjih tanggal 23-28 April 1972 di Poncongan, Pekalongan ditanfidzkan oleh PP Muhammadiyah tanggal 5 April 1973 dengan catatan bahwa masalah Nisab standard zakat dengan emas belum ditanfidzkan dan dikembalikan kepada Majlis Tarjih Pusat untuk dibicarakan lagi dan diberi dalil-dalilnya sebagaimana yang lazim dilakukan Mu’tamar Tarjih sehingga keputusan yang lama tetap berlaku.34
7. Hubungan Tata Kerja antara Majlis Tarjih dengan Majlis-Majlis yang lain.
Tentang hubungan tata kerja antara Majlis Tarjih dengan Majlis-Majlis yang lain diatur dalam pasal 7 SK.PP. Muhammadiyah No. 5/PP/74, yaitu Sebagai berikut :
1. Untuk kepentingan teknik pelaksanaan tugas kewajibannya, Majlis dan Bagian dapat berhubungan ke atas dan ke bawah lewat Pimpinan Persyarikatan yang bersangkutan.
2. Majlis atau Bagian dapat behubungan dan bekerja sama dengan Majlis dan atau Bagian lain dalam lingkungannya, dengan sepengetahuan Pimpinan Persyarikatan yang bersangkutan.
3. Untuk berhubungan dan bekerja sama antara Majlis dan atau Bagian dengan pihak lain di luar Persyarikatan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dan atas nama Pimpinan Persyarikatan yang bersangkutan.

C. SEJARAH MAJLIS TARJIH
1. Pembentukannya
Majlis Tarjih Muhammadiyah, lahir sebagai hasil keputusan Kongres ke-16 organisasi ini35 di Pekalongan pada tahun 192736 pada periode kepengurus-an K.H. Ibrahim (1878-1934) yang menjadi Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah kedua sesudah K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)37. Dalam kongres tersebut dibicarakan usul Pimpinan Pusat Muhammadiyah, agar dalam persyarikatan itu diadakan Majlis Tasyri’, Majlis Tanfidz dan Majlis Taftisy 38. Usul yang diajukan Pimpinan Pusat tersebut semula berasal dari dan atas inisiatif seseorang tokoh ulama Muhammadiyah terkemuka, K.H. Mas Mansur (1896-1946) yang waktu itu menjadi Konsul Hoofdbastoor Muhammadiyah Daerah Surabaya39. Ide tersebut sebelumnya telah berkembang di Surabaya dalam Kongres ke-15 tahun 1928.
Dalam kongres Pekalongan itu, usul pembentukan ketiga majlis tersebut di atas diterima secara aklamasi oleh para peserta, dengan mengganti istilah Majlis Tasyri’ menjadi Majlis Tajrih, dan “sejak itulah berdirinya Majlis Tajrih”40.
Untuk melengkapi kepengurusan dan pembuatan rancangan qaidahnya, dibentuk sebuah komisi yang beranggotakan tujuh orang ulama, yaitu :
1. K.H. Mas Mansur, Surabaya
2. A.R. Sultan Mansur, Maninjau (Sumatra Barat)
3. H. Mochtar, Yogyakarta.
4. H.A. Mukti, Kudus
5. Kartosudharmo, Betawi
6. M. Kusni
7. M. Junus Anis, Yogyakarta41.
Hasil pekerjaan komisi ini dibawa ke dalam kongres berikutnya42, yaitu kongres ke-17 tahun 1928 di Yogyakarta43. Kongres tersebut mengesahkan Qaidah Majlis Tarjih dan membentuk susunan pengurusnya yang pertama44 dengan :
1. K.H Mas Mansur, sebagai ketua;
2. K.H.R. Hajid, sebagai Wakil Ketua;
3. H.M. Aslam Zainuddin, sebagai Sekretaris45;
4. H. Jazari Hisyam sebagai Wakil Sekretaris;
5. K.H. Badawi, K.H. Hanad, K.H. Washil, K.H. Fadlil dan lain-lain, kesemuanya sebagai anggota46.
Pengurus ini, setelah terbentuknya segera bekerja dan membuat persiapan bahan-bahan dari masalah yang akan ditarjih. Pada kongres ke-18 di Solo, yang berlangsung dari tanggal 30 Januari sampai dengan tanggal 5 Februari 1929, Majlis Tarjih pertama kalinya mengadakan sidang khusus di luar sidang-sidang Kongres Muhammadiyah47, dan berhasil mengambil keputusan tentang “Kitab Iman” dan “Kitab Shalat”48. Kitab Iman berisi keputusan tentang pokok-pokok akidah yang benar, yaitu mengenai rukun iman yang enam, ialah : percaya kepada Allah, percaya kepada Malaikat, percaya kepada Kitab-kitab Suci, percaya kepada Rasul-rasul, percaya kepada Hari Kemudian, dan percaya kepada Qadla dan Qadar yang baik dan buruk. Di samping itu juga ada keputusan tentang masalah mengimani kenabian sesudah Muhammad. Sedang “Kitab Shalat” berisi keputusan tentang tata cara mengerjakan shalat.
Kebanyakan penulis-penulis Muhammadiyah berpendapat dan menyatakan bahwa sejak kongres ke-16 tahun 1927 itulah mulai berdirinya Majlis Tarjih, seperti di atas tadi sudah dikutip sebagai salah satu contoh. Pada hal dari apa yang sudah dipaparkan terdahulu, jelas bahwa pada tahun 1927 dalam kongres ke-16 itu, harus ada berupa keputusan pembentukan majlis-majlis; salah satunya Majlis Tarjih dan pembentukan komisi perumus qaidah dan pembentukan pengurus. Baru pada tahun 1928 di Jogjakarta, dalam kongers ke-17, Pengurus dan Qaidah Majlis Tarjih itu dibentuk. Jadi atas dasar ini sebenarnya dapat dikatakan bahwa secara formal, Majlis Tarjih itu terbentuk pada tahun 1928 di Jogjakarta.
2. Ketarjihan sebelum terbentuknya Majlis Tarjih
Apa yang dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa pembentukan Majlis Tarjih terlambat 15 tahun dari Muhammadiyah sendiri, yang didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah, atau 18 November 1912, oleh K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) seperti telah diuraikan terdahulu. Ini boleh jadi menimbulkan pertanyaan, bagaimana soal-soal ketarjihan dalam Muhammadiyah sebelum adanya Majlis Tarjih, dan apakah hal ini tidak merupakan suatu hal yang aneh dalam hubungannya dengan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, yang tiada henti-hentinya menyerukan ijtihad dan melarang taklid?
Perlu ditegaskan, bahwa terlambatnya pembentukan Majlis Tarjih dalam riwayat Muhammadiyah sebenarnya tidak merupakan suatu keganjilan dan juga bukan karena dari semula Muhammadiyah kurang memperhatikan bidang hukum-hukum agama. Justru sebaliknya, Muhammadiyah dari mulai didirikan adalah gerakan agama dan berasal dari agama pula. Walaupun Majlis Tarjih belum ada secara resmi pada 15 tahun pertama perkembangannya, hal itu tidaklah berarti bahwa pada masa-masa tersebut persyarikatan ini sepi dari aktivitas ketarjihan; sebagai “gerakan modernis Islam yang didedikasikan untuk melakukan pembaharuan kehidupan keagamaan dan sosial masyarakat muslim”49, Muhammadiyah terus-menerus dituntut untuk memberi pemecahan terhadap masalah-masalah agama, guna dikembalikan kepada tuntunan sebenarnya dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul s.a.w., serta masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang harus digerakkan dengan berlandaskan agama.
Semendjak Muhammadijah didirikan, dasar dan haluannja penuh diletakkan pada adjaran Islam. Hingga segala usaha dan pekerdjaannja sepenuhnja djuga dipandang dari hukum Islam. Malah lebih dari itu, dasar pokok dari gerakan kita ialah gerakan tajdid Islam, sehingga dengan sendirinja jang mula-mula dipeladjari dan diperhatikan adalah hukum-hukum Islam pula, ...maka bukan hanja merupakan kebenaran sadja, apabila pendiri dan pemimpin Muhammadijah jang mula-mula adalah seorang ulama, seorang ulama dalam arti jang sebenarnja; ...50
Oleh karena itu tugas bertarjih senantiasa dilakukan oleh ulama-ulama Muhammadiyah yang kompeten dan telah menghasilkan keputusan-keputusan pada waktu dimana belum dibentuk suatu lembaga khusus yang membidangi masalah agama dalam organisasi Muhammadiyah ini51. K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) sendiri terlibat dalam pemecahan masalah-masalah agama tersebut sebagian tampak dalam keputusannya tentang pembetulan arah kiblat dan cara penentuan waktu hari raya. Selama periode kepemimpinannya, pendapatnya mewakili dan diidentikkan dengan pendirian resmi organisasi52.
Barangkali menarik untuk dikemukakan di sini, guna menambah kejelasan uraian di atas, beberapa contoh keputusan yang diambil oleh Muhammadiyah tentang masalah agama, pada periode sebelum adanya Majlis Tarjih. Antara lain adalah sembahyang hari raya di tanah lapang, sesuai dengan tuntunan Rasulullah yang selalu mengerjakannya di tanah lapang selama tidak ada halangan seperti hujan. Sebelumnya, umat Islam bukan hanya di Indonesia tetapi juga di negeri-negeri Islam lainnya, mengerjakan shalat ‘Id di dalam masjid, dengan alasan pendapat Imam Madzhab Empat. Tetapi setelah diselidiki ternyata bahwa Imam Syafi’iy mengutamakan dalam masjid karena kemuliaan masjid itu, dan selagi dapat menampung jama’ah sebanyak mungkin; dan beliau mengutamakan di lapangan jika masjid tidak mampu menampung jumlah jama’ah. Sedang kenyataan menunjukkan bahwa masjid selalu tidak cukup luas untuk menampung pengunjungnya, apalagi pada hari raya di mana seluruh kaum muslimin, tua-muda, lelaki-perempuan, semuanya melakukan shalat ‘Id.
Shalat ‘Id di lapangan, pertama kali dilakukan oleh Muhammadiyah adalah di lapangan ASRI sekarang, di Jogjakarta53 pada hari raya ‘Idul Fitri tahun 1343 H, atau 1925 M dan ‘Idul Adha pada tahun yang sama. Peristiwa ini sangat menggemparkan dan mendapat reaksi dari “kaum kolot” sebagaimana juga dari pihak pemerintahan kolonial Hindia Belanda atas dasar alasan ketertiban dan keamanan54.
Reaksi ini malah disambut oleh Muhammadiyah dengan keputusan harus “Mengadakan shalat Hari Raja di tanah lapang, di mana-mana Moehammadijah ada”. Keputusan ini diambil dalam kongres ke-15 di Surabaya – sebuah kongres yang pertama dilakukan di luar Jogjakarta – pada tahun 1926, yaitu setahun sebelum terbentuknya Majlis Tarjih55.
Kongres yang sama juga mengambil keputusan tentang :
a. Mengusahakan agar dana masjid sebagian dapat digunakan untuk membiayai panti asuhan dan menyekolahkan anak-anaknya.
b. Minta agar reglement yang mengharuskan diperiksanaya calon temanten, dicabut.
c. Mengusahakan perbaikan cara pembagian zakat fitrah dengan memberikan tuntunan.56
Sedang kongres berikutnya, yaitu kongres ke-16 yang melahirkan keputusan pembentukan Majlis Tarjih, di antara keputusannya ialah mengusahakan agar supaya khutbah Jum’at disampaikan dalam bahasa bumiputera57.
Mengenai zakat fitrah sebelum perubahan yang dilakukan oleh Muhammadiyah, pembagiannya tidak menurut tuntunan yang diajarkan melalui Al-Qur’an dan Sunnahnya, yang menghendaki disalurkannya zakat tersebut kepada asnaf delapan, yaitu fakir, miskin, petugas pengumpulnya, muallaf, untuk penebusan tawanan, orang berhutang, jalan Allah dan musafir (ibnu sabil). Pada waktu itu zakat fitrah diberikan kepada kaum, modin, naib dan penghulu. Penerimaan zakat oleh mereka itu sangat berpengaruh terhadap status ekonomi mereka. Bahkan ada diantara mereka menerima beras yang diberikan kepada tiap-tiap akhir bulan puasa itu cukup menyangga biaya hidup rumah tangga selama 6 ( enam) bulan58.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa pada hakekatnya kongres Pekalongan tahun 1927 itu bukan merupakan titik mula kegiatan tarjih dalam Muhammadiyah, melainkan hanya sebagai pelembagaan secara resmi terhadap yang sudah ada sebelumnya. Tarjih sebagai kegiatan intelektual dalam menyelidiki ajaran Islam guna mendapatkan kemurniannya untuk kemudian diproyeksikan ke dalam penyusunan konsepsi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, telah berkembang dalam Muhammadiyah sejak dari mula berdirinya organisasi ini. Jadi dengan ringkas dapat dikatakan, Tarjih lahir bersamaan dengan lahirnya Muhammadiyah itu sendiri.
3. Faktor-faktor yang melatar belakangi lahirnya Majlis Tarjih.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi latar belakang lahirnya Majlis Tarjih, barangkali pidato K.H Fakih Usman berikut ini mengandung isyarat akan hal itu. Pidato ini disampaikan sebagai Khutbah Iftitah Pimpinan Pusat Muhammadiyah di depan Sidang Khususi Tar jih tahun 1960; ia berkata bahwa:
Kemudian tersiarlah Muhammadijah dengan tjepat sekali, memenuhi seluruh pelosok tanah air kita. Luasnja dan banjaknja usaha atau pekerdjaan jang dilakukan, mereka ke semua tjabang jang diperlukan oleh masjarakat.
Banjaknya tenaga-tenaga yang memasuki terdiri dari bermatjam-matjam pembawaan, pendidikan dan kedudukan. Semua ini menjebabkan pemerasan tenaga pimpinan jang harus mengurus dan memperhatikan banjak persoalan, yang hakekatnja bagi tenaga pimpinan untuk menguasai keseluruhan persoalan. Malah sulit djuga untuk mengetahui hubungan sesuatu persoalan dengan persoalan lainnja. Dan djuga lebih dari itu tidak lagi dapat dikuasai dengan sepenuhnja hubungan sesuatu dengan tujuan, dengan asas dasar gerakan sendiri, dengan adjaran dan hukum Islam.
Memang sebagai jang terjadi dalam kelandjutan sedjarah Islam, diduga terjadi dalam kalangan Muhammadijah mengadakan bermatjam-matjam pendidikan atau perguruan jang chusus untk memperdalam dan mempertinggi ilmu-ilmu agama. Djuga perhatian kita pada ilmu agama itu tidak sebagai jang seharusnja. Banjak dimakan oleh keperluan-keperluan lain jang bermatjam-matjam dari usaha-usaha Muhammadijah.
Dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba ada terdjadi peristiwa jang mengantjam timbulnja perpetjahan dalam kalangan Muhammadijah ialah peristiwa timbulnja perdebatan dan perselisihan mengenai Ahmadijah, ketika beberapa mubalighnja datang mengundjungi tempat pusat gerakan Muhammadijah.
Kejadian itulah jang akibatnja langsung menimbulkan kesadaran kita betapa djauhnya sudah tempat berdiri kita dari garis semula ditentukan. Dan kejadian itulah yang langsung menjebabkan didirikannja Majlis Tardjih.59

Dari pidato K.H Fakih Usman (1904-1968) di atas dapatlah disimpulkan adanya dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya majlis Tarjih, pertama adalah faktor yang bersifat intern, dan kedua faktor yang bersifat ekstern.
a. Faktor intern
Yang dimaksud dengan faktor intern ialah keadaan yang berkembang dalam tubuh Muhammadiyah sendiri, yaitu hal-hal yang timbul sebagai akibat dari perluasan dan kemajuran yang dicapai oleh persyarikatan ini.
Sebagian telah diketahui, perkembangan Muhammadiyah begitu pesat dan cepat, baik di bidang perluasan organisasi kurang dari 15 tahun Muhammadiyah telah berkembang di berbagai tempat di luar Jawa. Haji Rasul yang berkunjung di tanah Jawa pada tahun 1925 dan menemui pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di Yogyakarta, sekembalinya ke kampung halamannya pada tahun yang sama, memperkenalkan Muhammadiyah kepada masyarakat Minagkabau dengan jalan merubah organisasi lokal sandi Sandi Aman yang didirikannya di kampung halamannya menjadi sebuah cabang Muhammadiyah. Dari tanah Minang ini Muhammadiyah kemudian berkembang ke Bengkulu dan tempat-tempat lain di Sumatera, dan di Pulau Borneo, yaitu di Banjarmasin dan Amuntai.60
Seiring dengan perluasan organisasi yang menyedot banyak anggota itu, aktivitas sosial dan amal usaha Muhammadiyah juga meningkat secara hebat dan berhasil, terutama di bidang pendidikan, penyantunan dan pelayanan sosial, dakwah dan lain-lain aktivitas. Sekolah-sekolahnya -baik yang memakai bahasa Indonesia maupun yang memakai bahasa Belanda sebagai pengantar- memperkenalkan sistem pendidikan modern dengan perpaduan antara silabus yang berisikan pendidikan umum dengan pengajaran agama, melalui pelajaran bahasa Arab dan Tafsir Al-Qur’an. Klinik-klinik, organisasi wanita dan dan pemuda serta rumah-rumah wakaf berkembang dan bertambah maju, sedang dalam bidang dakwah, misalnya khutbah-khutbah Jum’at diberikan dalam bahasa daerah dan pesan-pesan Nabi disampaikan kepada masyarakat Kaum Muslimin dalam bahasa yang dapat dimengerti dan disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia modern.
Pengelolaan anggota yang banyak dan amal usaha yang besar ini, seperti dinyatakan dalam pidato K.H Faqih Usman di atas, menguras energi pimpinan sedemikian rupa, sehingga akibatnya adalah melemahnya kemampuan kontrol pimpinan terhadap sinkronisasi penyelenggaraan amal usaha itu dengan asas yang melandasi perjuangan Muhammadiyah, yaitu Islam, dalam kemurniannya sebagai yang dituntunkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Sahihah. Keadaan seperti ini menuntut adanya pembidangan pembangunan risalah. Untuk membidangi masalah agama yang memberi haluan bagi perjuangan Muhammadiyah, diciptakanlah Majlis Tarjih.
Selain dari itu, Muhammadiyah adalah suatu gerakan tajdid (pembaharuan) yang lahir di tengah-tengah suasana di mana dunia Islam sebagai respon terhadap gagasan reformasi Al-Afghani dan Muhammad Abduh sedang bergerak menuju suatu keadaan baru, bahwa mereka hanya dapat bertahan apabila bisa melepaskan isolasionisme yang kaku dan sebaliknya mampu menumbuhkan kekuatan adaptasi terhadap dunia modern yang urban, rasional, individualistik dan bahkan sekuler. Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah beruaha melakukan kombinasi antara diterimanya dunia modern dan metode-metode organisasi Barat yang modern dengan suatu organisasi Islam yang jelas berdasarkan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Al-Hadits. Usaha-usaha pengkombinasian ini dalam Muhammadiyah berarti penggalian hukum-hukum agama untuk mendapatkan landasan yang Islami bagi kehidupan modern yang tidak dapat terhindarkan itu. Dalam susunan demikian kehadiran Majlis Tarjih sebagai lembaga yang khusus menangani persoalan-persoalan ideologis keagamaan itu memang sangat diperlukan.
b. Faktor ekstern
Yang dimaksud dengan faktor ekstern adalah perkembangan-perkembangan yang terjadi pada umat Islam umumnya di luar Muhammadiyah, yang dalam hal ini adalah perselisihan paham mengenai masalah-masalah furu’ fiqhiyah, yang biasanya dinamai masalah khilafiyah. Di samping itu juga masalah ajaran Ahmadiyah yang mulai diperkenalkan di Indonesia pada akhir perempat pertama abad 20. Perselisihan dan pertentangan-pertentangan itu mengancam keutuhan Muhammadiyah, sehingga mendorong pembentukan Majlis Tarjih yang ditugasi antara lain untuk menyelidiki berbagai macam pendapat itu, untuk diambil yang paling kuat dalilnya, guna menjadi pegangan anggota-anggota Muhammadiyah, dan dengan demikian perselisihan-perselisihan karena masalah khilafiyah yang telah memecah-belah umat Islam dalam sejarah itu, dapat dihindarkan dalam Muhammadiyah.
Dalam Boeah Congres 26 yang diterbitkan oleh Hoofdcomite Congres Moehammadijah pada halaman 31 dijelaskan sebagai berikut :
...bahwa perselisihan faham dalam masalah agama soedahlah timboel dari dahoeloe, dari sebelum lahirnja Moehammadijah, sebab-sebabnja banjak, diantaranja karena masing-masing memegang tegoeh pendapat seorang ‘oelama atau jang terseboet di sesoatoe kitab, dengan tidak soeka menghabisi perselisihannja itoe dengan moesjawarah dan beralasan kepada Al-Qoer’an, perintah Toehan Allah dan kepada Hadiest, soennah Rasoeloellah.
Oleh karena kita choeatir, adanja pertjektjokan dan perselisihan dalam Moehammadijah tentang masalah agama itoe, maka perloelah kita mendirikan Madjlis Tardjih oentoek menimbang dan memilih dari segala masalah jang diperselisihkan itoe yang masoek dalam kalangan Moehammadijah, manakah jang kita anggap koeat dan berdalil benar dari Al-Qoer’an dan Hadiest.61

Sebagai kita ketahui, memasuki abad ke-20 terjadi dichotomy dalam tradisi santri menjadi kaum reformis dan tradisionalis62. Kaum reformis memperkenalkan gagasan-gagasan pembaharuan yang dicetuskan di Timur Tengah, yang pada intinya berusaha merombak cara berfikir lama kaum Muslimin, yang bertaklid kepada madzhab dengan jalan membuka kembali pintu ijtihad. Gagasan ini tidak begitu mudah diterima oleh kaum tradisionalis. Bagi mereka, pemahaman Islam mutlak melalui taklid kepada madzhab. Oleh karena itu ketika kaum tradisionalis ini merasa terdesak dan mereka membentuk organisasi, maka orientasi kepada madzhab empat, khususnya madzhab Syafi’i, menjadi dasar ideologi organisasi. Pertentangan antara pendukung-pendukung gerakan modernis – Muhammadiyah adalah salah satu komponennya – di satu pihak, dengan pendukung-pendukung tradisi di pihak lain, mengambil bentuk perselisihan-perselisihan dalam furu’ fiqhiyah. Shalat hari raya di tanah lapang seperti telah digambarkan di muka adalah contoh yang paling jelas di samping masalah-masalah lainnya, seperti jumlah raka’at shalat tarawih, qunut shalat shubuh, dan lain-lain. Perselisihan-perselisihan tentang detail-detail ajaran Islam ini perlu mendapat kepastian dalam pengamalannya, bagi anggota-anggota Muhammadiyah melalui usaha-usaha pentarjihan yang ditangani oleh sebuah lembaga resmi.
Adalah teramat penting untuk diketahui, bahwa perselisihan-perselisihan yang timbul di kalangan umat Islam pada tahun-tahun pergantian perempat pertama dengan perempat kedua abad ke-20, bukan hanya dalam detail-detail masalah agama, tetapi merembet kepada masalah-masalah pokok. Ini disebabkan oleh masuknya aliran Ahmadiyah ke Indonesia dan melakukan propaganda di pusat organisasi Muhammadiyah. Ahmadiyah adalah sebuah aliran agama yang muncul di India, yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) yang meng-claim dirinya sebagai Nabi mulai sekitar tahun 190063.
Aliran ini terbagi kepada dua bagian, Qadiyan dan Lahore. Cabang Qadian dianggap keluar dari Islam, karena mengakui adanya Nabi sepeninggal Muhammad, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Sedang cabang Lahore tidak seekstrim yang pertama. Cabang Lahore ini memandang Mirza Ghulam Ahmad itu hanya sebagai pembaharu belaka.
Pada tahun 1924, dua orang propagandis cabang Lahore ini singgah di pulau Jawa, dalam suatu perjalanan ke negeri Cina. Mereka adalah Mirza Wali Ahmad Baiq dan Maulana Ahmad. Setelah melihat aktivitas missionaris Kristen di Jawa, Wali Ahmad Baiq sangat terkesan dan memutuskan untuk menyiarkan ajaran Ahmadiyah dengan jalan jihad damai. Di Jogjakarta dia dapat mendekati kalangan reformis. Sarekat Islam memberikan dukungan
(Naskah hal 39 terpotong/tidak tercantum).
.....berikut :
Barang siapa mengimankan kenabian seseorang sesudah Nabi Muhammad s.a.w. maka harus diperingatkan dengan firman Allah: “Muhammad itu bukannya bapak seseorang padamu, tetapi ia Pesuruh Allah dan penutup sekalian Nabi”; dan sabda RasulNya: “Dalam umatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya Nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi dan tidak ada Nabi sesudahku”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Tsauban)........; dan banyak lagi hadits lainnya yang menerangkan dengan jelas, bahwa tak ada lagi Nabi sesudah Muhammad s.a.w.
Jika orang tidak menerima dan tidak mempercayai ayat dan hadits tersebut, maka ia mendustakannya: dan barangsiapa menjustakan, maka kafirlah ia.66

Demikianlah beberapa faktor yang melatar-belakangi dan menyebabkan dibentuknya Majlis Tarjih Muhammadiyah.
4. Perkembangan Majlis Tarjih
Adapun perkembangan Majlis Tarjih kemudian, dapat dilihat pada aktifitas-aktifitas yang dilakukannya. Mulai sejak sidang pertama dalam konggres ke-18 di Solo itu, Majlis Tarjih terus mengadakan sidang-sidang khususi tarjih tiap-tiap tahun secara bersamaan waktu dan tempat dengan kongres Muhammadiyah sampai pada Muktamar (istilah kongres mulai tahun 1950 diganti dengan Muktamar) ke-32 di Purwokerto tahun 1953. Kemudian pada tahun 1954/1955 (29 Desember s/d 3 Januari ) diadakan sidang khusus tarjih di luar Muktamar Muhammadiyah, di Yogyakarta, di Gedung Mu’allimat dan dalam sidang ini hadir tokoh Islam dari Mesir Said Ramadlan, sebagai peninjau67. Kemudian pada tahun 1956, Majlis Tarjih sidang bersama–sama dengan Muktamar Muhammadiyah ke-33 di Palembang68.
Sesudah itu sidang-sidang Majlis Tarjih yang biasanya diselenggarakan bersamaan dengan Muktamar Muhammadiyah itu, ditingkatkan menjadi Muktamar dan tidak lagi diadakan bersama-sama dengan Muktamar Muhammadiyah. Ini untuk pertama kalinya diadakan tahun 1960 di mana Majlis Tarjih bermuktamar secara terpisah dari Muktamar Muhammadiyah, dan mengambil Pekajangan (Pekalongan) sebagai tempat penyelenggarannya69. Muktamar ini berlangsung dari tanggal 16 sampai 20 Juli 1960.
Dalam Mukatamar ini, ikut memberikan sambutan :
1. Pejabat residen Pekalongan, dengan sambutan tertulis yang dibacakan oleh Sekretaris Residen, R. Soedjarwo.
2. Panglima Kodam VII/Diponegoro, Kol.Inf. Pranoto Reksosamodra70.
Muktamar selanjutnya diadakan delapan tahun kemudian, di Sidoarjo yang berlangsung sejak tanggal 27 sampai 31 juli 1968. Ada sejumlah masalah yang diagendakan untuk menjadi acara Muktamar ini. Akan tetapi yang selesai diambil keputusannya ialah : (1) mengenai masalah umum adalah bank, lotto/nalo dan keluarga berencana; (2) masalah khusus: hijab dan gambar K.H.A. Dahlan. Keputusan-keputusan itu sebagai berikut :
1. Bank dengan sistem riba, haram; bank tanpa riba halal; dan bunga bank yang diteria nasabah dan sebaliknya masalah musytabihat.
2. Lotto dan nalo termasuk perjudian dan haram hukumnya.
3. Mencegah kehamilan berlawanan dengan hukum Islam dan KB yang dilakukan dengan menggunakan cara itu karenanya berlawanan dengan hukum Islam.
4. Dalam rapat-rapat Muhammadiyah yang dihadiri oleh lelaki dan wanita, harus menggunakan hijab.
5. Mencabut putusan tahun 1929 (sidang tarjih pertama) yang mengharamkan pemajangan gambar K.H.A. Dahlan71.
Sejak dari Muktamar 1968 di Sidoarjo ini, hanya berselang empat tahun, sehingga diadakan lagi Muktamar Tarjih di desa Pencongan, Kecamatan Wiradesa, Pekalongan, yang berlangsung dari tanggal 23 sampai 28 April 1972. Di antara keputusan Tarjih yang diambil dalam Muktamar ini adalah masalah hubungan antar zakat dengan pajak yang dinyatakan sebagai dua kewajiban yang berbeda dan karenanya membayar salah satu di antara keduanya tidak dapat menggugurkan kewajiban melakukan yang lain72.
Dua Muktamar lainnya adalah Muktamar Garut, Jabar dan Muktamar Klaten, Jateng. Muktamar Garut berlansung dari tanggal 18-23 April 1976 dan merupakan Muktamar yang ke-2073 (dihitung sejak tahun 1929). Sejak Muktamar yang terakhir sampai saat ini adalah Muktamar ke-21, yang diselenggarakan di Klaten, sejak tanggal 6 sampai 11 April 198074.
Di samping itu, di sela-sela Muktamar ke Muktamar, diadakan pula seminar-seminar atau semacam itu, guna lebih mematangkan bahan-bahan kajian yang akan dibawa ke Muktamar. Seperti misalnya simposium yang diadakan di Bandung tahun 1965 dalam kesempatan Muktamar Muhammadiyah yang diadakan di kota tersebut. Seminar itu membahas masalah konsepsi masyarakat Islam dan pembinaan hukum-hukum fiqh bidang muamalah dalam masyarakat modern75. Terakhir di Klaten pada tahun 1978 diadakan seminar tentang Qaidah Ushul Fiqh, yang menyangkut masalah hadist-hadist dla’if, yang berjumlah banyak, di mana satu sama lain saling menguatkan dan masalah jarh dan ta’dil76.
Apabila perkembangan Majlis Tarjih dari masa ke masa diamati secara cermat, akan terlihat bahwa pada tahap-tahap permulannya dan selama periode kolonial, Majlis Tarjih memperlihatkan vitalitas yang tinggi.
Sidang-sidang Madjlis Tardjih jang diadakan bersama-sama dengan Muktamar Muhammadijah setiap tahun, kelihatannya mendapat arti lebih atas dari sidang-sidangnja Muktamar berdiri. Apabila chutbah iftitah Muktamar jang biasa dibatjakan dalam pembukaannja, jang umumnya berisi pandangan umum dari P.B. Muhammadijah mengenai segala peristiwa jang ada hubungannja dengan gerakan kita, maka chutbah iftitah Madjlis Tardjih yang dibatjakan oleh Ketua sendiri selaku mendapatkan perhatian jang chusus dari Muktamar.
Chutbah iftitah Tardjih selalu mengandung persoalan baru dalam banjak hal menundjukkan pembangkitan pembahasan jang penting dalam pembinaan hukum agama jang mendjadi dasar gerakan Muhammadijah,...............sebutan “ada sidang Tardjih”, “ada keputusan Tardjih” selalu mempunyai arti jang tersendiri dalam kalangan kaum Muhammadijah77.

Vitalitas Majlis Tarjih terutama selama periode kolonial tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kapasitas intelektual dan bakat kepemimpinan ulama-ulama Muhammadiyah, terutama yang menjadi anggota tarjih. Mereka memiliki kemampuan untuk beradapatasi terhadap situasi dan tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan perubahan masyarakat. Mereka juga berpandangan luas dan mempunyai wawasan yang melampaui scope nasional, seperti yang dicerminkan oleh Choethbatoel ‘Arsj (Pidato Pembukaan) Hoofdbestuur Moehammadijah tahun 1936 berikut :
Setiap gerak dan langkah, keadaan dan kejadian di dalam Islam, selaloe poela mendjadi perhatian kita, sehingga hampir segala hal ihwal, kita ketahoei dan kita perhatikan, sebagaimana kedjadian :
1. Perbaikan agama di Malaka terutama di Djohor.
2. Terbitnja “Almuohbiroel jabani” di Osaka, Japan.
3. Berdirinja Kobe Muslim Mosqe” (Masjid Islam) di kota Japan.
4. Terbitnya Nadloratoel Hilal di Peiping (Tiongkok).
5. Kegiatan Ahloel-hadists di Hindoestani.
6. Perobahan- perobahan di Afganistan dan Persi.
7. Rapatnja perhoeboengan antara kaoem Sji’ah di Irak dengan Ahloesoenah di mesir.
8. Berdirinja Alma’hadoessoe’oedi di Mekah dan Daroe Ahlil-hadist di Madinah.
9. Masuknja poetra jang toea dari Mahatma Gandi kepada agama Islam, dengan diganti namanja : Abdullah Hiralal.
10. Dan lain-lain sebagainja
Segala kedjadian dan keadaan, baik jang telah kita seboetkan di atas itoe, maoepoen jang tidak kita seboetkan, karena banjaknja, semoea itoe telah kita perhatikan dan faham baik-baik............78.

Kutipan di atas dimaksudkan untuk sekedar melukiskan wawasan pandangan dan daya tanggap ulama-ulama Muhammadiyah terhadap situasi.
Salah seorang dari mereka yang demikian adalah K.H Mas Mansur, ketua pertama Majlis Tarjih Muhammadiyah. Dia adalah “seorang ulama yang dalam ilmunya dan ahli ijtihad”79. Memperoleh pendidikan pertama dari ayahnya sendiri, Kyai Mas Achmad Marzuki, seorang ulama keluarga Pesantren Sidoresmi, Surabaya. Masih dalam usia sangat muda, ia pergi melakukan haji dan kemudian melanjutkan pelajaran di al-Azhar, Kairo80.
Jenjang karier keulamaan dan kepemimpinan mulai dititinya ketika pulang ke kampung halaman dari al-Azhar. Ia berkecimpung dalam lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah, dan aktif dalam organisasi-organisasi sosial dan pergerakan politik, serta selalu duduk pada tingkat pimpinan. Tahun 1921 menjadi Consoel Hoofdbestuur Moehammadijah daerah Soerabaja81. Tahun 1926 menjadi ketua Mu’tamar Alam Islami Hindisy Syarqiyah (MAIHS) dan Ketua Haji Organisasi Hindia (HOH). Kemudian bersama-sama dengan tokoh lain pada tahun 1937 mendirikan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan tahun 1938 ikut mendirikan dan duduk dalam pengurus Partai Islam Indonesia (PII)82.
Ketika menjadi Voorzitter Hoofdbbestuur Moehammadijah (Ketua PP Muhammadiyah), K.H. Mas Masyur menyusun “Langkah Duabelas” Muhammadiyah 1938-1940. Langkah ini sangat terkenal, salah satu dari dua belas langkah itu ialah “memperluas paham agama”83. Langkah ini merupakan tanggapan atas perkembangan yang terjadi di Muhammadiyah, yaitu timbulnya kecenderungan menyempitkan paham agama di kalangangan sebagian anggota Muhammadiyah. Ini terbukti dengan kenyataan bahwa :
Hoofdbestuur Moehammadijah senantiasa mendapat peringatan, di waktoe akan mengoesahakan sesoeatoe ‘amal, bahwa djanganlah Moehammadidjah menambah agama, sebab menoeroet firman Allah, ”Hari ini Akoe telah menyempoernakan agamamu dan mentjoekoepkan kenikmatankoe kepadamoe serta memilih agama Islam bagi kamoe”.(Q.S. al-Maidah ayat 3 pen.).84.
Terdjadi poela, dalam sesoeatoe hal, jang kita gembirakan itoe kita mendapat peringatan: Djanganlah sekali-kali Moehammadijah mengadjoekan itoe, ingatlah akan firman Allah: ”Mereka tidak diperintahkan ketjoeali menjembah Toehan Allah”.(Q.s. at-Taubah ayat 32; al-Bayyinah ayat 5, pen). Sebab itoe soedah boekan ibadah, djanganlah digembirakan85.

Sehubungan dengan “Langkah Muhammadiyah 1938-1940 “yang salah satu butirnya adalah memperluas faham agama itu, maka Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Moehammadijah mengeluarkan sebuah surat yang ditandatangani oleh Voorzitter (Ketua)-nya Mas Mansur pada tangganl 10 Muharram 1357 (1938), yang ditujukan kepada para ulama Muhammadiyah, supaya memberi jawaban tentang lima masalah yang kemudian terkenal dengan Masalah Lima dan dalam Himpunan Putusan Tarjih menjadi “Kitab Masalah Lima”. Kelima masalah terebut ialah :
a. Apakah agama ?
b. Apakah “dunia “?
c. Apakah ibadah?
d. Apakah sabilullah (jalan Allah) ?
e. Apakah qiyas ?86
Masalah ini tampaknya mendesak untuk dicari jawabannya pada waktu itu, guna dapat menentukan apakah sesuatu amal usaha yang diselenggarakan Muhammadiyah itu termasuk urusan agama, sehingga harus betul-betul berpijak kepada sunnah atau termasuk urusan dunia sehingga pertimbangan akal dapat digunakan dan seterusnya.
Ketika jawaban-jawaban itu sudah masuk dari sejumlah ulama, baik atas nama perorangan maupun organisasi, maka K.H. Mas Mansur pula yang mengolah dan menyimpulkannya dalam buku kecil yang diterbitkan oleh Hoofdcoomite Congres Moehammadijah Djogdjakarta tahun 1942, dengan judul “Kesimpoelan Djawaban Masalahh Lima”87.
Pada tahun-tahun sekitar 1937, keadaaan perekonomian kaum muslim sangat morat-marit, sehingga hal ini menjadi sasaran keprihatinan Muhammadiyah. Maka dalam Kongres Muhammadiyah tahun 1937 di Yogyakarta, diputuskan untuk mendirikan sebuah Bank Muhammadiyah sebagai “satoe-satoenja alat oentoek mentjapai maksoed perbaikan dan soesoenan perekonomian kaoem moeslimin”88. Sebagai diketahui, bank tidak bisa terlepas dari sistem bunga; maka pada waktu itu dengan berani K.H. Mas Mansur menyatakan pendapat bahwa bank dengan sistem bunga itu, walaupun hukum sebenarnya haram, namun dima’afkan dan diperbolehkan karena alasan adalah darurat dan tuntutan keadaan yang tidak bisa dihindarkan. Alasan ini oleh K.H. Mas Mansur didasarkan kepada beberapa qaidah fiqhiyah. Dalam majalah Siaran -seperti dikutip oleh Djarnawi Hadikusumo- K.H. Mas Mansur menulis :
Ulama-ulama ushul dengan bersendi kepada Qur’an dan Hadits telah mengadakan beberapa anggaran qaidah :
1. Keadaan memaksa membolehkan apa yang dilarang.
2. Kesempitan dapat menarik kepada kelonggaran.
3. Jika menghadapi dua bahaya maka dipebolehkan mengambil yang lebih ringan.
Dengan berdasarkan terpaksa atau kedlaruratan sebagai tersebut di atas, maka dirumuskan sebagai berikut :
Sedang hukumnya terang haram.
Sedang keadaan terang-terang membutuhkan.
Jika tidak, kita terdesak surut ke belakang.
Jika tidak, kita kalah surut ke bawah.
Mata kita sebagai saksi.
Keadaan sebagai bukti.
Maka disimpulkan, bank dengan sistem bunga itu haram hukumnya, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dimaafkan, selama keadaan memaksa akan adanya 89.

Barangkali kalau ditinjau dari kacamata zaman sekarang, pendapat dua pikiran K.H. Mas Mansur ini tidaklah terlalu berarti, namun untuk zamannya, in merupakan suatu keberanian yang luar biasa untuk menerima dan beradaptasi dengan realitas “masa kini”-nya tanpa kehilangan pedoman dan arah.
5. Beberapa Catatan
Ada dua hal yang penting dicatat sehubungan dengan adanya Majlis Tarjih dalam Muhammadiyah dan perkembangan keputusannya, yaitu :
a. Bahwa Majlis Tarjih berfungsi sebagai roda yang menggerakkan kesatuan faham dalam Muhammadiyah, mengenai masalah-masalah hukum furu’ yang semula menjadi ajang pertentangan dan pertikaian, di kalangan umat Islam di Indonesia, dan yang menjalar ke kalangan anggota-anggota Muhammadiyah, sehingga menghambat gerak penyelenggaraan amal usaha Persyarikatan. Terwujudnya kesatuan faham mengenai masalah-masalah furu’iyah ini merupakan dampak positif dari pembentukan Majlis Tarjih90.
b. Akan tetapi juga ada dampak negatif dari adanya Majlis Tarjih ini; ialah timbulnya sikap skeptis di kalangan anggota Muhammadiyah terhadap masalah-masalah yang sebenarnya sudah ada hukumnya dari para ulama terdahulu, dan bahkan sudah tidak dipertikaikan lagi, namun belum dibicarakan oleh Majlis Tarjih. Akibatnya timbul kelesuan dan kebekuan untuk mengamalkan hukum agama yang belum ditarjih itu dan sebagai gantinya diambil sikap tawaqquf, yaitu berhenti sambil menunggu keputusan Tarjih. Bahkan timbul pula anggapan, bahwa yang benar itu hanyalah putusan tarjih, sedang di luar itu belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini menyebabkan Hoofdbestuur Moehammadijah mengeluarkan pernyataan, yang merupakan penerangan tentang tarjih yang intinya :
1) Bahwa perselisihan faham dalam hukum agama itu telah menjadi kenyataan dan sudah ada sejak sebelum lahirnya Muhammadiyah.Oleh karena itu, Tarjih tidak bertujuan membatalkan segala pendapat yang tidak sesuai dengan keputusan tarjih. Tarjih bertujuan menggalang persatuan Muhammadiyah dengan mencari mana di antara pendapat-pendapat itu yang paling dekat dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Majlis Tarjih sama sekali tidak menyatakan bahwa keputusannyalah yang paling benar.
Bahkan kami berseroe djoega kepada sekalian oelama, soepaja soeka membahas poela, akan kebenaran poetoesan Madjlis Tardjih itoe. Dimana kalaoe terdapat kesalahan ataoe koerang afsah dalilnja dimintak soepaja diadjoekan -sjoekoer kalaoe dapt memberikan dalilnja jang lebih afsah dan terang-jang nanti akan dipertimbangkan poela, dioelangi penjelidikannja... ... ... ...92

2) Segala masalah hukum yang tidak diperselisihkan, tetap sebagaimana yang sudah ada, asal bersandar kepada perintah Allah (Al Qur’an) dan mengambil tuntunan dari junjungan kita Muhammad s.a.w.93


CATATAN KAKI BAB I :
*dikutip dari Bab I buku “Laporan Penelitian Majlis Tarjih Muhammadiyah (Suatu Studi tentang Sistem dan Metode Penentuan Hukum). Tim Peneliti: Drs. H Asjmuni A. Rahman, dkk., (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1985).
1Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin, alih bahasa Drs. Yusron Asrofie, (Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 1983), hal. 3.
2Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1940-1942, edisi 2 (Jakarta:LP3ES, 1983), hal. 85; A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad Kedua Puluh, (Surabaya:PT Bina Ilmu, 1981), hal. 24.
3Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit, hal. 56-57.
4M. Djindar Tamimy, “Tajdid Muhammadiyah dalam Bidang Ideologi dan Chittah”, Suara Muhammadiyah, (Th. Ke XVII, Juni 1986), hal. 3.
5M. Yusron Asrofie, K.H.A. Dahlan: Pemikiran dan Kepemimpinannya, (Yogyakarta:Yogyakarta Offset, 1983), hal. 57.
6Deliar Noer, Gerakan, hal. 324.
7M. Djindar Tamimy dan H. Djarnawi Hadikusumo, Penjelasan Muqaddimah Anggaran Dasar dan Kepibadian Muhammadiyah, Cet. II (Yogyakarta:P.T. Persatuan, t.t.), hal. 59.
8Wawancara dengan K.H.M. Djuwaini, Oktober 1984, di RS PKU Muhammadiyah, Yogyakarta; lihat juga:C. Snouck Hoergronye, Islam di Hindia-Belanda, terjemahan Indonesia (Jakarta:Bharata, 1973), hal. 28. dst.
9Mitsuo Nakamura, Agama dan Lingkungan Kultural Indonesia, kumpulan karangan, terjemahan M. Darwin (Surakarta:Hapsara, 1983) hal. 33.
10Ibid., hal. 34.
11Wawancara dengan Bapak M. Djindar Tamimy 25 Desember 1984.
12Deliar Noer, Gerakan, hal. 92.
13Wawancara dengan K. Umar Affandi tanggal 5 November 1984.
14Mitsuo Nakamura, Agama, hal. 34.
15A. Jainuri, Muhammadiyah, hal. 64.
16Mitsuo Nakamura, Agama, hal. 34.
17Ibid., hal. 37-38.
18A. Jainuri, Muhammadiyah, hal. 64.
19Mitsuo Nakamura, Agama, hal. 38-39.
20Drs. DQ. Muchtar, “Fungsi”, hal. 3.
21Dikutip dari Khutbah Iftitah PP Muhammadiyah Majlis Tarjih dalam Muktamar Tarjih ke XXI di Klaten, 1980.
22Wawancara dengan responden bersangkutan tanggal 24 dan 28 Oktober 1984.
23Majalah Suara Muhammadiyah, no. 10 tahun ke-60, Mei II 1980, hal. 29, kolom 1.
24Lihat pasal 6 dan 7.
25Himpunan Putusan Tarjih, cet. Ke-3 (Yogyakarta:PP Muhammadiyah, t.t.) hal. 4.
26Wawancara dengan KHM. Djuwaini, tanggal 4 Oktoer 1984 di PKU Muhammdiyah.
27Wawancara dengan Drs. D.Q., Muchtar, tanggal 29 November 1984.
28Drs. D.Q. Muchtar, “Fungsi”, hal. 4.
29Dikutip dari Drs. D.Q. Muchtar dalam “Fungsi”, hal. 3. Lihat juga Boeah Congres 26, (Yogyakarta:Hoafdcomite Congres Muhammadiyah, t.t.) hal. 30.
30K.H.M. Djuwaini, :”Uraian Ketarjihan”(makalah tidak diterbitkan), hal. 4.
31Wawancara dengan K.H.M Djuwaini tanggal 4 Oktober 1984 di PKU Muhammadiyah; wawancara denan Kyai Umar Affandi (salah seorang pengasuh Pendidikan Ulama Tarjih di Yogyakarta), tanggal 5 November 1984.
32Ibid.
33Wawancara dengan M. Djindar Tamimy, tanggal 25 Desember 1984.
34Drs. D.Q. Muchtar, “Fungsi”, hal. 2.
35Boeah Congres 23, cet. Ke-2 (Djogdjakarta;Hoofdcomite Congres Muhammadiyah, 1968) hal. 27.
36Lihat Suara Muhammadiyah , No. 17-18, tahun ke-48 (September I dan II, 1968) hal. 27.
37Pak AR Yogyakarta, Menuju Muhammadiyah, cet. Ke-1 (Yogyakarta;PP Muhammadiyah Majlis Tabligh, 1984) hal. 32.
38HM Junus Anis, “Asal-Mula Diadakan Madjlis Tardjih”, Suara Muhammadiyah, No. 6 tahun ke-52 (Maret II 1972/Shafar I-1392 H), hal. 3.
39KHM. Wardan, “Fungsi Ulama dan Tugas Madjlis Tardjih”, Suara Muhammadiyah, No. 15-16, tahun ke-48 (Agustus I dan II, 1968/Djumadil Awal 1388), hal. 24. KH Mas Mansur ini kemudian menjadi Ketua Hoofdbestuur Moehammadijah ke empat periode 1936-1942.
40Ibid.
41HM Junus Anis, “Asal Mula .......”, hal. 3.
42Ibid.
43Majalah Suara Muhammadiyah No. 17-18, tahun 48/1968, hal. 27 dan No. 12 tahun ke-58/1978 halaman 13 melaporkan data-data Musyawarah Tertinggi Muhammadiyah dan menyatakan bahwa Congres ke-17 tahun 1928 di Solo dan Kongres ke-18 tahun 1929 di Yogyakarta. Ini sebenarnya terbalik yang benar Kongres ke-17 itu di Yogyakarta dan Kongres ke-18 di Solo.
44HM Junus Anis, ”Asal Mula..............”, hal. 3.
45HM Aslam Zainuddin ini sampai saat penelitian ini dilakukan (akhir 1984) beliau masih hidup dan termasuk salah satu seorang responden penelitian ini.
46Wawancara Saudara M. Natsir Bakry dengan Bapak HM Aslam Zainuddin 6 Februari 1977 di Gerjen Yogyakarta. Lihat Lampiran Skripsi Saudara tersebut yang berjudul Peranan Lajnah Tarjih Muhammadiyah dalam Pembinaan Hukum Islam di Indonesia, hasil wawancara ini dinyatakan kembali kepada Bapak HM Aslam Zainuddin oleh Drs. H. Asjmuni dan cocok, pada November 1984.
47H. Ahmad Basimi, “Kesan dan Pesan tentang Mu’tamar Tarjih”, Suara Muhammadiyah, No. 15-16, tahun ke-48 (Agustus I dan II, 1968/Djumadil Awal, 1388), hal. 7.
48HM Junus Anis, “Asal Mula............”, hal. 3.
49S. Soebardi dan C.P Woodcroft-Lee, “Islam in Indonesia” dalam The Crescent in the East:Islam in Asia Major, diedit oleh Raphael Israeli, cet. Ke-1 (London and Dublin:Curzon Press Ltd, 1982) hal. 193.
50Dikutip dari teks “Khutbah Pembukaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Mu’tamar Khususi Tarjih tahun 1960 di Pekajangan” yang disampaikan oleh K.H. Faqih Usman.
51H. Ahmad Basuni, “Kesan”, hal. 6.
52Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, (London New York : Oxford University Press, 1973) hal. 81.
53Wawancara dengan K.H.M. Djuwaini, Wakil Ketua Majlis Tarjih, tanggal 1984 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah.
54H. Djarnawi Hadikusumo, Dari Jamaluddin al-Afghani sampai KhA Dahlan, cetakan ke-2 (Yogyakata:Penerbit Persatuan, t.t.)hal. 80.
55Boeah Congres 23, hal. 11.
56Ibid, hal. 22 dan 23.
57Ibid.,ahal. 20.
58Hasil wawancara dengan K.H.M. Djuawaini, tanggal 1984.
59Dikutip dari teks “Khutbah Pembukaan” (lihat catatan Nomor 16 di atas).
60Deliar Noer, The Modernist, hal. 77 dan 78; S. Soebardi dan C.P. Woodcaft-Lee,”Islam’,op.cit.,hal. 191 dan 194.
61Boeah Congres 26, (Yogyakarta : Hoofdcomite Congres Moehammadijah, t.t.) hal. 31.
62S. Soebardi, “Islam di Indonesia”, dalam Prisma, Nomr Ekstra, thun ke VII (1978), hal. 77-78.
63Abdul Hasan Ali al-Hasni al-Naddwi, al-Qadiyani Wa al Qadiyaniyah:Dirasah Wa Tahlil, cet. ke-3 (ttp.:al-Dar al-Sa’udiyah li al-Nasyr, 1971 M/1391 H) ahal. 68-71.
64S. Soebardi dan C.P. Woocroft-Lee,”Islam”, op. Cit., hal. 202.
65K.H. Sahlan Rasyidi, Kemuhammadiyahan untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, (ttp. : Majlis PPK, tt.) hal. 66.
66Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. ke-3 (Yogyakarta:PP Muhammadiyah, tt.) hal. 280.
67Wawancara dengan KHM Djuwaini tanggal 1984.
68Laporan PP Muhammadiyah Majlis Tarjih kepada sidang Khususi Tarjih tanggal 16-20 Juli 1960 di Pekajangan (Pekalongan).
69Suara Muhammadiyah, No. 15 – 16 tahun XLVIII, Agustus I dan II 1968 M/1388 H, hal. 7.
70Muktamar Chusus Tardjih 16 s/d 20 Juli 1960 di Pekalongan, naskah tidak diterbitkan.
71Suara Muhammadiyah, Nomor 15 – 16, tahun XLVIII, Agustus I – II, 1968 M/1388 H, hal. 7. Lihat juga Himpunan Putusan Tarjih, “Keputusan Tarjih Sidoarjo”.
72Suara Muhammadiyah, No. 10, th. ke-52, 1972, hal. 3.
73Suara Muhammadiyah, No. 9, th. ke-56, 1976.
74Suara Muhammadiyah, No. 9, th. ke-60, 1980, hal. 3.
75Risalah Stenografi Sidang Khusus Majlis Tarjih pada Muktamar ke 36 di Bandung 1965, hal. 2.
76Suara Muhammadiyah, No. 11, th. ke-58, 1978, hal. 3.
77Pidato Pembukaan PP Muhammadiyah Majlis Tarjih pada Muktamar Tarjih, 1960 di Pekalongan yang disampaikan oleh K.H. Fakih Usman.
78Boeah Congres Moehammadijah Seperempat Abad, (Yogyakarta : Hoofdcomite Congres Moehammadijah, t.t.) hal. 12.
79Wawancara dengan K.H.A.R. Fakhruddin tanggal 25 Desember 1984 dalam perjalanan mobil dari Magelang ke Yogyakarta jam 14.30 WIB.
80Ikromi Wirdjoatmodjo, “K.H. Mas Mansur”, dalam Suara Muhammadiyah, (No. 12 th ke-58, Juni, 1978) hal. 27.
81Marzuki Yatim, “Liku-liku Perjuangan Muhammadiyah di Surabaya” dalam Suara Muhammadiyah, (No. 3, th ke-58, Februari 1978) hal. 23.
 
 
 
Sumber : http://www.fatwatarjih.com/p/history-of-tarjih.html